SlideShow

Cerita Pendek (cerpen)

RAHMA , ISTRIKU.

Seketika istriku jatuh tergeletak di teras ruang tamu dalam sebuah pukulan dari tanganku. Namun setelahnya istriku sama sekali tak bergerak. Aku mencoba menyentuh wajahnya. Ia hanya diam membisu. Kucoba menepuk-nepuk pipinya, namun istriku sama sekali tak menjawab apapun. Tampak darah mengalir di dahinya. Serta merta kugendong tubuhnya yang ringan menuju ke mobil.

"Bi, tolong di rumah saja ya, saya mau bawa ibu ke rumah sakit", aku hanya bicara seperlunya saja. Wajah bibi, pembantu rumahku tampak gusar, seolah ia mengetahui apa yang telah terjadi saat itu. Wajar jika ia tak berani berbuat apa-apa saat kami sedang ribut.

Di rumah sakit, istriku langsung ditempatkan di UGD. Aku hanya bisa menunggu di luar ruangan. Saat-saat penantian ini membuatku tersiksa. Pikiranku melayang - layang ke sana kemari tak beraturan. Antara cemas dan takut menghantui adrenalinku. Cemas akan bagaimana nasib istriku kelak. Takut jika seandainya istriku tak tertolong, aku yang bersalah !

Kali ini aku menangis. Air mata ini nampaknya sangat sulit kubendung. Kenapa aku begitu tega terhadap istriku ? Aku tau, jika istriku sabar menghadapi aku yang sangat-sangat egois terhadapnya selama ini. Aku marah karena istriku memanggil aku dengan sebutan "KAMU". Padahal jauh di balik itu rupanya istriku telah memendam rasa kecewa terhadapku. Aku pernah menyamakan dirinya sebagai pelacur, karena di rumah ia mengenakan pakaian yang seksi. Sedang aku tak menyukainya karena kakak perempuanku sedang menginap di rumah kami. Aku sadar seharusnya aku tak menyebutnya atau menyamakan dirinya seperti itu. Tapi aku kelepasan bicara. Tapi mengapa ego ini menyelimuti aku, hingga tak ada kata maaf sedikitpun untuknya.

Aku juga sering melontarkan kata-kata yang seharusnya sangat tak layak untuknya. Aku sering menyebutnya sebagai Tolol dan bodoh. Padahal berkali-kali istriku mengingatkan aku, "Mencela seorang muslim merupakan kefasikan" dan ia juga bilang, " mengapa kata-kata itu berani ia ucapkan untuk orang yang akan menemani hidupnya ? mengapa dengan orang lain aku masih bisa menjaga ?" . Ah, Mengapa aku tak mau mendengar kata-katanya.

Tertata lagi kenagangan-kengan manis, saat aku dengannya masih menjadi sebuah pasangan yang indah. Betapa ia menjaga anak-anakku dengan rasa kasih sayangnya meski terkadang aku iri, sebab ia begitu sangat sayang terhadap anak-anakku.

Tersadar, aku tengah menunggu di ruang tunggu. Kuusap beberapa kali air mata yang tumpah begitu saja. Yaa . . . Tuhan, maafkan aku. Aku begitu menyia-yiakan dia. Aku benar-benar menyesal Tuhan. Beri aku kesempatan untuk membalas apa yang telah kulakukan untuk istriku selama ini. Aku janji tak akan menyia-nyiakan dirinya lagi.

Sesaat dokter keluar dari pintu UGD. "Bapak Raka ?" Aku berdiri. Namun dokter tersebut nampak gelisah, meski berusaha untuk tenang. "Maaf, istri anda tak tertolong lagi." Seketika itu aku berlari ke jasad istriku yang kini sudah tak bernyawa lagi. "Rahma istriku, maafkan aku !" aku berteriak keras, seolah aku menyesal untuk seumur hidup.

dikutip dari sebuah majalah.


Kisah Mengharukan Anak Kelas 4SD
Sepasang suami isteri - seperti pasangan lain di kota-kota besar
meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak
tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun.
Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk
bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang
dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai
tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari
marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru
ayahnya. Ya... karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak
jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan
kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin
menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka
ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya,
gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut
imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu
rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil
yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama
lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus
menjerit, "Kerjaan siapa ini !!!" .... Pembantu rumah yang tersentak
dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah
padam ketakutan lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi
diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ' Saya tidak
tahu..tuan." "Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?"
hardik si isteri lagi.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari
kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "DIta yg membuat gambar itu
ayahhh.. cantik ...kan!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja
seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang
ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali2
ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa apa menagis
kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si
ayah memukul pula belakang tangan anaknya.

Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas
dengan hukuman yang dikenakan.
Pembantu rumah terbengong, tdk tahu hrs berbuat apa... Si ayah cukup
lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya.
Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut
menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil
luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil
menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga
menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air. Lalu si
pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan
anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah
tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. "Oleskan
obat saja!" jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang
menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi
pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah
menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari
bertanya kepada pembantu rumah. "Dita demam, Bu"...jawab pembantunya
ringkas. "Kasih minum panadol aja ," jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk
kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita
dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.
Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu
badan Dita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00
sudah siap" kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah
dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit
karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap
dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan.." kata
dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong
karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut..."Ini sudah
bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus
dipotong dari siku ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan
terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti
berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata
isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan
pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan
habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua
tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian
ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua
menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan
air mata. "Ayah.. ibu... Dita tidak akan melakukannya lagi.... Dita tak
mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi... Dita sayang ayah..
sayang ibu.", katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa
sedihnya. "Dita juga sayang Mbok Narti.." katanya memandang wajah
pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.

"Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak
akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?...
Bagaimana Dita mau bermain nanti?... Dita janji tdk akan mencoret2 mobil
lagi, " katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar
kata-kata anaknya. Meraung2 dia sekuat hati namun takdir yang sudah
terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada
akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan
ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski
sudah minta maaf...

Tahun demi tahun kedua orang tua tsb menahan kepedihan dan kehancuran
bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya
dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi...,
Namun...., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tsb
tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya..

Lelaki dengan Bekas Luka di Jidatnya
Lelaki yang duduk tepekur di atas kursi malas yang diletakkan di kebun bunga dengan halaman tertutup rerumputan hijau lembut itu adalah seorang pemburu yang terkenal mahir menggunakan senapannya. Tak ada suara anak-anak di rumah itu sebab mereka semuanya, kecuali si bungsu, sudah pergi meninggalkannya mencari rezeki di kota-kota yang jauh, bahkan di sebuah pengeboran minyak lepas pantai di wilayah Ceram.

Mereka adalah anak-anak yang dulunya sangat rajin belajar dan berhasil menyelesaikan studi mereka di universitas-universitas terkenal. Putut, yang tertua, yang dulunya bekerja di pengeboran minyak lepas pantai, sekarang bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan asing berukuran raksasa, dan dia tidak pernah tinggal di satu kota besar dalam tempo yang lama. Kegiatannya berterbangan dari satu bandara ke bandara internasional yang lain, memberikan konsultasi yang mahal harganya, beristirahat akhir pekan di pantai negeri jauh, dan hanya sekali-sekali singgah di Jakarta. Tidak ada waktu untuk pulang ke Bali mengikuti berbagai upacara adat yang mengalir tak kering-keringnya dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Anggota keluarganya di desa selalu membicarakannya sebagai seorang sosok yang sangat dibanggakan oleh seluruh keluarga di kampung. Warga desa yang berhasil, seorang local genius yang sudah go international.

Bilamana mereka berkumpul di pura desa untuk sebuah upacara besar, sebuah piodalan , maka ketidakhadirannya dapat dimaafkan, sedangkan warga desa yang sudah merantau ke Denpasar atau bahkan ke Surabaya, bilamana tidak menghadiri upacara itu selalu dibicarakan.

"Berapa jauhkah Surabaya? Banyak bus malam yang melintasi desa kita, tetapi kenapa dia tak datang? Bukankah dia dapat menyisihkan waktu barang dua malam untuk pulang?"

Mungkin yang paling rajin pulang untuk menghadiri piodalan di desa maupun di sanggah keluarga adalah Dek Gung yang bekerja sebagai dosen Universitas Negeri Malang. Ada Bus Simpatik yang melayani penumpang dari Malang ke Singaraja, dan bilamana pulang, Dek Gung selalu menumpang bus itu, atau membawa mobil sendiri, datang dengan istri dan anak-anaknya. Dek Gung-lah yang paling mendapat pujian dari penduduk desa maupun dari keluarga, apalagi lelaki yang semasa mudanya itu aktif dalam kegiatan Teruna-Teruni di Banjar Bali di kota Singaraja sekarang sering memberikan dana punia untuk pembangunan desa maupun pura desa.

Mang Yul adalah anak ketiga, satu-satunya anak yang paling cantik dalam keluarganya sebab dialah anak perempuan satu-satunya. Adatnya santun sebagaimana diteladankan oleh ibunya. Dia sudah hidup bersama suaminya di Jakarta, dengan demikian tak banyak dibicarakan oleh orang sedesa karena dia sudah mengikuti keluarga suaminya yang berasal dari Badung.

Tut Sur adalah si bungsu, dan setelah itu tak ada lagi anak kelima. Bukan sebab lelaki itu mengikuti prinsip KB cara Bali, yakni beranak maksimum empat sebagaimana ditunjukkan oleh sistem penamaan anak-anak, tetapi karena Tut Sur membawa serta berita duka menyertai kelahirannya. Tut Sur-lah yang masih tinggal bersama lelaki tua yang dulu terkenal sebagai seorang pemburu yang mahir menggunakan senapannya itu, tetapi lelaki itu jarang berada di rumah walaupun tinggal bersama ayahnya.

Di rumah itu hanya tinggal tiga orang, lelaki itu bersama anaknya, seorang pembantu perempuan yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, dan seekor anjing yang bertugas menjaga rumah di malam hari.

Ketika istrinya hamil anak keempat itu, permintaan yang mudah dikabulkan adalah seekor babi guling yang lezat, harus dimasak sendiri, dan harus berasal dari seekor babi hutan yang masih muda.
"Kalau itu urusan kecil," kata lelaki itu.

Maka dia pun berangkat sendirian ke arah hutan lindung di Bali Barat, perbatasan antara wilayah Buleleng dan Jembrana, namun dia tidak berburu di sana. Di mulut hutan dia berbelok ke kanan menuju arah pantai. Di situlah tempat sebaik-baiknya berburu babi hutan sebagaimana teman-temannya sesama pemburu pernah katakan. Di sana dia mungkin akan bertemu sesama pemburu dan akan mengadakan perburuan bersama. Di hutan lindung, di wilayah dekat Desa Cekik, menurut teman-temannya tidak aman. Bukan lantaran polisi hutan sering berkeliaran, tetapi lantaran penjaga hutan dari alam gaib tidak selalu ramah pada orang yang datang memasuki wilayah ini. Banyak sekali pantangan yang harus dipatuhi bilamana orang memasuki wilayah ini. Yang pertama, tentu, hati mereka tidak boleh kotor. Lalu, mereka tidak diperkenankan membawa daging sapi. Lalu, tidak boleh mengucapkan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan penjaga hutan di situ.

Pernah terjadi serombongan siswa SMA berkemah di wilayah itu bersama beberapa guru pembimbing. Sebelum berangkat, kepala sekolah sudah memberi pesan agar mereka berhati-hati berada di wilayah itu, tidak berbuat yang tak senonoh, berkata kotor, berpikiran kotor, dan tidak membawa bekal yang berasal dari daging sapi. Tidak boleh ada dendeng sapi, abon daging sapi, atau apa pun.

Salah seorang gurunya berasal dari Jawa dan tidak terlalu percaya pada hal-hal yang dianggapnya tahyul. Celakanya, ketika berada di wilayah itu dia ungkapkan ketidakpercayaan itu dalam kata-kata.

Tidak terjadi apa-apa, dan bapak guru itu semakin berani dengan mengatakan, "Bapak kan boleh makan abon, ya?" Lalu dengan enaknya dia menyantap abon yang dibawanya dari rumah dengan nasi bungkus yang disediakan panitia.

Tidak terjadi apa-apa, dan yakinlah dia bahwa apa yang dikatakan orang tentang semua larangan itu hanyalah tahyul belaka.

Ketika jam tidur datang, anak lelaki berkumpul dengan anak lelaki, dan siswa perempuan berkumpul dengan siswa perempuan dalam kemah mereka sendiri. Mula-mula terdengar teriakan dari kemah siswa perempuan.
"Ada yang bebainan ," teriak seorang siswa.

Ternyata bukan hanya seorang siswi yang bebainan, tetapi dua, tiga, lima. Sejumlah guru perempuan mencoba menolong, lalu guru lelaki ikut datang, lalu datang pula guru yang berbekal abon daging sapi itu, tergopoh hendak memberikan pertolongan.
"Aduh!" teriak lelaki itu, jatuh terkapar ke tanah, badannya kejang-kejang.
"Pak Man bebainan juga!" teriak para siswa panik.

Begitulah kisah teman-teman pemburu tentang Pak Man yang jatuh terkapar, dan ketika dicarikan dukun yang pandai, nyawanya ditebus dengan nasi kuning, bunga-bunga, dan sebaris doa.
"Kalau tidak, dia pasti mati. Nyawanya diminta oleh penjaga hutan."

Itu cuma salah satu kisah yang dapat ditimba dari wilayah itu. Masih banyak kisah lain yang terjadi tetapi tak tercatat. Misalnya tentang berpuluh mahasiswa yang tiba-tiba sakit perut.
"Lebih baik kita berburu di wilayah yang aman," kata pemburu itu.

Di langit tak ada bulan, hanya bintang yang bertebaran sampai memayungi laut. Dia menunggu dengan sabar sementara dari tadi dia tak bertemu seorang pun. Tiba-tiba dia mendengar suara semak-semak yang diterjang gerakan tubuh.
Dia pun bersiap-siap dengan senapannya.
"Ini pasti babi hutan," pikirnya.

Dan ketika suara semak belukar yang bergerak itu makin keras maka meletuslah senapannya dan terdengar tubuh yang rebah ke tanah.

"Ah, babi hutan besar yang terkena tembakanku," keluhnya, sementara istrinya minta seekor babi yang masih muda. Pelahan dia berjalan ke semak-semak itu, dan ketika dia menyorkan senternya ke arah bunyi rebah itu, dia tertegun tak berkata apa, tak bergerak.
"Tidak!!!"
Mematung beberapa saat lamanya, akhirnya dia lari meninggalkan tempat itu.
Kepada istrinya disampaikan warta bahwa semalaman tak dijumpainya babi hutan seekor pun.
"Mungkin mereka berpindah ke arah barat, tapi aku tak berani menginjak wilayah tenget itu," katanya.

Menjelang pagi istrinya mengeluh lantaran kandungannya terasa sakit. Dengan sepeda motor dia melarikan istrinya langsung ke rumah sakit. Ketika fajar tiba istrinya melahirkan anak mereka yang keempat, Tut Sur, Ketut Surya yang lahir ketika surya telah terbit. Ibunya meninggal saat melahirkan bayi yang sehat itu.

Lelaki itu menangis, dan seminggu kemudian dia menyembunyikan tangis yang lain dan menuai was-was yang makin bertunas, ketika dia membaca berita di harian Bali Post tentang mayat seorang lelaki dengan luka tembakan di jidatnya, ditemukan sudah membusuk di tengah hutan di wilayah pantai ujung barat Pulau Bali.

Tut Sur yang jarang tinggal di rumah itu ternyata dari jam ke jam berada di sudut kota, bicara dengan banyak orang yang tak terlalu mempedulikannya. Kadang dia bicara pada rembulan, kadang pada jembatan beton Kampung Tinggi yang kokoh. Pada suatu sore dia kembali ke rumah, bau badannya tak terlukiskan dan pakaiannya kotor. Pemburu itu masih duduk tepekur di kursi malas di tengah kebun bunga halaman rumahnya.

Tut Sur tiba-tiba menubruk lelaki itu, bersimpuh di pangkuannya dengan pertanyaan seorang anak yang haus akan jawaban:
"Ayah, ayah, kenapa ada luka di jidatku ini?"
Luka itu sudah ada sejak dia dilahirkan, tetapi kenapa dia baru bertanya sekarang?

Lelaki pemburu itu memegang kepala anaknya dengan kedua belah tangan dan dikecupnya bekas luka di jidat anak itu seolah dia ingin menghisapnya supaya tertelan ke dalam perutnya.
"Ya, Hyang Widhi. Kenapa tidak kau lubangi saja kepalaku agar anakku ini tidak menjalani siksa seumur hidupnya?"

"Ayah, ayah, kenapa ada bekas luka di jidatku? Apakah aku anak durhaka? Apakah aku Prabu Watugunung yang durhaka? Atau, apakah aku putera Dayang Sumbi?"
"Ah, siapakah yang mendongeng padamu, anakku? Ibumu bukan?" *** Read More..